Di daftar menu yang tertempel di dinding terdapat sesuatu yang baru. Bukan penambahan menu makanan atau minuman, namun pada daftar harga terdapat tempelan harga baru yang menindas harga lama. Tepatnya, Mrs Bond menaikkan harga makanan dan minuman yang tersedia di kantin.
”Harga boleh naik tapi kualitas dan kuantitas makanan minimal harus tetap lho,” komentar Bu Matematika.
”Lebih baik kalau kuantitas dan kualitas dinaikkan,” imbuh Bu Fisika.
”Jangan khawatir, kami tidak sembarang menaikkan harga kok,” jawab Mrs Bond seraya menambahkan dengan nada keluhan. ”Ini pun terpaksa, karena semua yang dijual di pasar juga naik. Apalagi cabe, uuuh........!”
Bu Matematika dan Bu Fisika mengangguk tanda memahami akar permasalahan kenaikan harga. Namun yang tidak mereka pahami, harga-harga kebutuhan yang melambung tersebut tidak tersentuh oleh media. Sebagai perempuan yang sering berhadapan dengan kebutuhan pokok, mereka terkaget-kaget dengan pergantian harga di pasar.
”Rupanya harga kebutuhan di pasar tidak lagi menarik diberitakan. Wartawan mungkin mengira, kenaikan harga-harga tersebut dianggap hal wajar sehingga jarang ada yang memberitakan,” Bu Matematika mencoba menganalisis.
”Ya itu yang saya nggak ngerti. Piala Dunia dan video mirip artis kok bisa mengalahkan informasi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Padahal menurut saya, lebih penting memberitakan harga-harga kebutuhan itu dibanding mengulas video porno yang ujung-ujungnya justru membawa dampak negatif bagi pelajar dan anak-anak di bawah umur,” Mrs Bond menimpali.
”Media saat ini memang lebih senang memberitakan sesuatu yang menarik daripada yang penting. Maklum, sekarang kan zaman pers industri sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan berita harus memiliki nilai ekonomi,” Mr Bond menyahut dari balik etalase.
”Sampeyan iki koyok pengamat media ae. Nek krungu wartawan sing gak seneng karo omongan sampeyan, mlebu koran embuh lho yo,” Mrs Bond menanggapi ucapan suaminya.
”Aku kan bicara apa adanya,” jawab Mr Bond sambil melangkah mendekati meja ketiga perempuan yang duduk di depan pintu kantin. ”Antara Piala Dunia dan kenaikan harga pokok, penting mana? Apalagi jika dibandingkan dengan video porno mirip artis.”
”Atau gini aja. Lebih penting mana, berita kelanjutan Century dibanding Piala Dunia dan video porno mirip artis?” Mr Bond menantang pendapat ketiga perempuan yang salah satunya, istrinya.
Tak ada jawaban. Mereka tampaknya sulit membedakan antara sesuatu yang penting dan sesuatu yang menarik dalam kacamata media massa untuk konsumsi masyarakat. Sebagai pihak penerima informasi, jarang ada yang memrotes isi berita untuk kepentingan umum. Yang sering terjadi, masyarakat protes jika secara individual dirugikan saat diberitakan media.
”Sekarang saatnya kita sebagai masyarakat yang menerima informasi dari media, protes agar media lebih lebih mengedepankan berita-berita yang penting daripada berita menarik,” Mr Bond mencoba melakukan provokasi.
”Kalau hal itu disampaikan ke media, mereka pasti akan menjawab, ”Silakan berlangganan koran atau majalah lain saja, Bu. Kebijakan perusahaan kami memang seperti ini.” Atau, kalau disampaikan ke televisi, mereka pasti akan mengatakan, ”Ganti channel saja. Gitu aja kok repot.” Kalau menghadapi jawaban seperti itu, kita bisa apa?” Bu Fisika memancing sikap Mr Bond.
”Tadi sampeyan bilang, media sekarang lebih senang memberitakan hal-hal yang menarik karena lebih menguntungkan daripada memberitakan hal-hal yang penting. Ya kalau memang kebijakannya seperti itu, kita bisa apa? Apa kita tidak perlu lagi langganan koran dan majalah, atau bahkan tidak usah nonton tivi?” susul Bu Matematika.
”Mangkane tah, nek ngomong sing ati-ati. Nek ngene aku gak isok ngewangi sampeyan,” olok Mrs Bond terhadap suaminya yang mendapat serangan balik dari kedua guru.
”Maksud saya gini Bu. Mari kita mengadukan ke Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia, agar kita sebagai masyarakat penerima informasi mendapat hak semestinya. Sekaligus kita budayakan pembaca atau penonton yang aktif mengontrol pemberitaan agar media tidak selalu mengejar keuntungan,” Mr Bond menjelaskan maksudnya.
”Sampeyan wis ngerti tah alamate Dewan Pers karo KPI?” tanya Mrs Bond.
Mister Bond menggeleng.
”Nek sampeyan wis ngerti alamate, aku nomer siji wong sing ndukung sampeyan. Dadi saiki tugas sampeyan golek alamat sik, baru golek dukungan,” tukas Mrs Bond yang kali ini merasa di atas angin karena memiliki dua teman sesama perempuan.
”Terima kasih Mises Bond yang kucinta atas tugasnya. Mulai sekarang, saya tidak bisa lagi membantu di kantin karena sedang sibuk mencari alamat Dewan Pers dan KPI,” kata Mr Bond sambil ngeloyor pergi.
”Lho......lho, sik...sik! Kok malih ngene ceritane?” Mrs Bond mengejar suaminya yang sudah hilang dari balik pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar