8 Juni 2011

Demokrasi: Akar Masalah Korupsi dan Kolusi !

Anggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan terbaik, ternyata bohong besar. Di tanah air, merebaknya demokrasi justru menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi di alam demokrasi ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah, parlemen/wakil rakyat, dan swasta.

Menurut catatan Transparency International Indonesia, indeks korupsi di Indonesia tidak menurun, masih bertahan di angka 2,8. Posisi itu sama dengan periode sebelumnya. Indonesia berada di peringkat 110 dari 178 negara yang disurvey terhadap indeks persepsi korupsi (antaranews, 26/10/2010).

DPR dan DPRD yang dianggap perwujudan demokrasi adalah sarang banyak pelaku korupsi. Berdasarkan hasil survei Kemitraan, lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup disusul lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, Yudikatif 70% dan eksekutif 32% (mediaindonesia, 21/4).

Sebutlah skandal pengaturan pemilihan deputi senior gubernur BI periode 2004-2009 yang menjerat dua puluh lima anggota DPR-RI periode 1999-2004; kasus alih fungsi hutan di propinsi Riau; kasus suap proyek wisma atlet yang sekarang ramai dan banyak kasus lainya. Begitu pula deretan anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi juga sangat panjang.

Jual-beli aneka RUU, utak-atik anggaran, pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah, proyek pembangunan, pemilihan pejabat, dsb, ditengarai menjadi lahan basah korupsi para anggota dewan. Bahkan para anggota dewan pun ditengarai sering berperan sebagai “calo” atau dikepung oleh para “calo”.

Percaloan di DPR diakui Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfudz Siddiq. Ia mengungkapkan, para calo di parlemen sering berkeliaran pada lahan basah DPR, seperti calo jual-beli pasal dalam pembahasan RUU yang menyangkut kepentingan dan kewenangan terkaitresources­ -sumber daya-. RUU itu dibandrol harganya bukan lagi pasal perpasal, tapi bahkan sampai ayat perayat. Arena permainan uang juga terjadi dalam kegiatan fit and prosper test. Kasus fit and proper test berpeluang menjadi gratifikasi jabatan yang memiliki nilai tinggi. “Lahan basah yang juga biasa dimanfaatkan yakni saat pembahasan anggaran untuk proyek kementerian maupun pemerintah daerah,” ujarnya (rri.co.id, 22/5).

Mental korup bukan saja dominasi wakil rakyat pusat maupun daerah, tapi juga kepala daerah yang notabene produk pilkada yang demokratis. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan pada Januari lalu ada 155 kepada daerah yang menjadi tersangka korupsi. “Tiap minggu ada tersangka baru. Dari 155 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, 74 orang di antaranya adalah gubernur,” ungkap Gamawan (vivanews.com, 17/1).

Akarnya Industri Politik Demokrasi

Mengapa korupsi menggila di alam demokrasi? Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar. Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Sementara untuk menjadi bupati saja dibutuhkan dana tidak kurang dari Rp 20 miliar percalon kepala daerah.

Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan: “Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari. (kompas.com, 5/7/2010).

Sering kali korupsi makin meningkat saat menjelang pilkada dan pemilu. Kasus korupsi yang dilakukan sejumlah elit parpol saat ini disinyalir adalah bagian dari ancang-ancang pengumpulan dana untuk persiapan pemilu 2014. Parpol merasa bahwa anggaran yang diperoleh dari sumbangan anggotanya yang menjadi pejabat atau anggota legislatif terlalu kecil. Maka korupsi dan kongkalikong dengan pengusaha pun jadi ajang mengeruk dana bagi parpol.

Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku bejat ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.

Jeffrey D. Sachs, Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University sekaligus Penasihat Khusus Sekjen PBB mengenai Millennium Development Goals, mengatakan negara-negara kaya adalah pusat perusahaan-perusahaan global yang banyak melakukan pelanggaran paling besar (korantempo, 23/5). Di negara-negara demokrasi itu, seperti di Indonesia, para penguasa korup dan pengusaha yang melakukannya juga kebal hukum.

Jeffrey mengungkap sejumlah pejabat Gedung Putih banyak terlibat skandal. Mantan wakil presiden Dick Cheney masuk ke Gedung Putih setelah menjabat Direktur Utama Halliburton. Selama Cheney memegang jabatan di Halliburton, perusahaan tersebut telah menyuap pejabat-pejabat Nigeria sehingga berhasil memperoleh akses mengelola ladang-ladang minyak di negeri itu -akses yang bernilai miliaran dolar. Ketika pemerintah Nigeria menuduh Halliburton melakukan penyuapan, perusahaan itu menyelesaikan kasus ini di luar pengadilan dengan membayar denda sebesar US$ 3,5 juta.

Presiden AS Barack Obama juga pernah memanfaatkan jasa seseorang di Wall Street bernama Steven Rattner untuk menyelamatkan industri otomotif AS, walaupun Obama tahu bahwa Rattner saat itu sedang diperiksa karena menyuap pejabat-pejabat pemerintah. Setelah menyelesaikan tugasnya di Gedung Putih, Rattner berhasil menyelesaikan kasus suapnya itu dengan membayar denda beberapa juta dolar.

Praktik penyuapan dan korupsi di Indonesia juga melibatkan perusahaan asing. Biro investigasi federal Amerika Serikat (AS) atau FBI mengungkapkan adanya praktek suap yang dilakukan perusahaan AS di Indonesia. Terutama perusahaan AS yang beroperasi di wilayah Indonesia.

Gary Johnson, Kepala Unit Penangan Korupsi FBI menyatakan bahwa ada kasus-kasus yang melibatkan perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia dan itu berada di bawah FCPA (Foreign Corrupt Practices Act) atau di bawah UU antikorupsi (detiknews.com, 11/5).

Jelaslah sudah, sistem politik demokrasi justru menjadi akar masalah munculnya perilaku korupsi dan kolusi.

Negara Disandera Kolusi Pengusaha-Penguasa/Politisi

Kolusi pengusaha dan penguasa ini menandakan negara telah jatuh disandera para politisi dan pengusaha demi kepentingan mereka. Korupsi hanyalah satu cara untuk balik modal dan mencari keuntungannya. Jika korupsi nanti tidak lagi tren, maka mengembalikan modal sendiri atau “sumbangan” pemodal akan dilakukan secara “legal”. Untuk itu dibuat berbagai peraturan yang memungkinkannya, misalnya memberikan apa yang disebut insentiv, dsb. Bisa juga dilakukan melalui proses legal yang telah diatur, seperti proyek yang dimenangkan para pemodal itu melalui tender yang telah “diatur” yang secara kasat mata terlihat memenuhi semua peraturan. Untuk itu proyek-proyek harus diadakan dan diperbanyak. Itulah mengapa muncul banyak proyek “aneh”. Negara dan sumber dayanya pada akhirnya disandera oleh kolusi politisi/penguasa dengan pengusaha, dan lebih parah lagi ditambah dengan pihak asing.

Semua itu telah menjadi bersifat sistemik karena yang menjadi akar masalahnya adalah sistem politik demokrasi yang mungkin lebih tepat disebut industri politik demokrasi. Layaknya industri yang untuk adalah para pengelolanya (penguasa, pejabat dan politisi) dan para pemodalnya yaitu para kapitalis pemilik modal. Rakyat akan terus menjadi konsumen dan kepentingan rakyat hanyalah obyek layaknya barang dagangan. Akibat semua itu, kepentingan rakyat selalu dikalahkan.

Wahai kaum muslimin!

Telah jelas bahwa demokrasi melahirkan para pemimpin bermental korup, zalim, dan rakus. Demokrasi telah membiasakan para penguasanya untuk gemar berbuat curang, menerima suap, korupsi, dan melakukan kolusi yang merugikan rakyat, padahal Allah dan RasulNya telah mengharamkan perbuatan tersebut.

Sesungguhnya kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya. Sudah seharusnya umat mencampakkan sistem industri politik demokrasi dan menggantinya dengan sistem yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang menjamin keberkahan hidup di dunia dan akhirat.

Karena itu untuk menghindarkan umat dari semua itu dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik maka tidak ada jalan lain kecuali mencampakkan sistem industri politik demokrasi yang menjadi akar semua problem itu. Dan berikutnya kita ambil dan terapkan petunjuk hidup dan sistem yang diberikan oleh Allah yag Mahabijaksana. Sebab Allah SWT sendiri telah menjamin bahwa Islam akan memberikan kehidupan kepada kita semua dan umat manusia umumnya.

Apakah tidak cukup umat menderita dalam sistem demokrasi dan setiap hari menyaksikan kerusakan demi kerusakan ditimbulkan oleh sistem ini yang dijalankan para penguasa? Sungguh Allah telah memberi pelajaran kepada kita semua, semoga kita bisa memahaminya. Maka, hukum siapakah yang lebih baik dibandingkan dengan hukum Allah SWT.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Maidah: 50).

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nafsiyah ::.

Ihsan Dalam Segala Hal

« إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ »

Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka membunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih maka menyembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang dia sembelih (HR Muslim dan Ashhabus Sunan)

Hadis ini sahih sebagaimana jelas hadis ini dicantumkan di dalam Shahîh Muslim. Imam at-Tirmidzi juga berkomentar terhadap hadis ini: hasan sahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thayalisi dalam Musnad-nya, Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, al-Bazzar dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabîr, Abd ar-Razzaq dalamMushannaf, al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubrâ, Syu’ab al-îmân, dan yang lainnya.

Makna Hadis

Sabda Rasul saw.: InnalLâh kataba al-ihsân ‘alâ kulli syay’in. Frasa kataba ‘alâ, menurut ulama ushul artinya mewajibkan. Namun, makna mewajibkan itu tidak bisa diterapkan. Sebab, kulli syay’in, yang menjadi sasaran kewajiban, meliputi segala sesuatu, termasukghayr mukallaf yang tidak bisa dibebani taklif. Karena itu, menurut mayoritas ulama, kata‘alâ dalam frasa tersebut bermakna (dalam). Jadi maknanya adalah kataba fî. Hal itu seperti jawaban Rasul saw. ketika ditanya tentang amal yang paling disukai: ash-shalâtu ‘alâ waqtihâ maknanya ash-shalâtu fî waqtihâ (shalat pada waktunya). Menurut sebagian ulama, kata ‘alâ itu selain bermakna juga bermakna li (untuk). Karena itu, frasa kataba ‘alâ tersebut bermakna menetapkannya sebagai bagian dari syariah, yakni mensyariatkannya atau memerintahkannya. Hanya saja, karena diungkapkan dengankataba ‘alâ maka perintah itu bersifat mu’akkad (ditekankan). Ath-Thayibi seperti dikutip oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Akhwadzi menjelaskan makna kata kataba di sini: “yaitu mewajibkan, secara mubâlaghah (melebih-lebihkan), sebab ihsan di sini adalahmustahab (sunnah) dan cakupan ihsan itu adalah makna tafadhdhul(kelebihan/keutamaan)”.

Penggunaan kata ‘alâ dengan makna atau li dan bukan menggunakan kata ilâ itu menunjukkan bahwa ihsan yang diperintahkan itu tidak spesifik untuk makhluk tertentu saja, tetapi umum untuk semua makhluk dan dalam segala hal. Dengan begitu ihsan itu diperintahkan dalam hal ibadah, dalam hubungan kita dengan diri kita sendiri dan hubungan kita dengan manusia lainnya; juga mencakup perlakuan kita kepada makhluk lainnya baik hewan, tumbuhan atau alam secara keseluruhan.

Kata al-ihsân dalam hadis ini bermakna umum sehingga mencakup semua bentuk dan jenis ihsan. Ihsan dalam hal ini bukan hanya ihsan secara syar’i yang telah didefinisikan oleh Rasul saw. dalam riwayat Ibn Umar ra.:

« اْلإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia dan jika engkau tidak melihat Dia maka sesungguhnya Dia melihat engkau (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sebab, ihsan itu diperintahkan dalam segala sesuatu, sementara ihsan dalam hadis Ibn Umar itu khusus dalam ibadah. Dengan demikian maksud ihsan dalam hadis ini adalah makna bahasanya.

Menurut al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât, secara bahasa ihsan adalah bagian kebaikan yang seharusnya dilakukan. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip bahwa Ali bin Abi Thalib kw. menafsirkan ihsan dengan tafadhdhul (keutamaan-kelebihan). Asy-Syaukani di dalamFath al-Qadîr ketika menafsirkan QS an-Nahl ayat 90, mengatakan: makna ihsan secara bahasa ini menunjukkan bahwa ihsan adalah tafadhdhul (kelebihan/keutamaan) dengan sesuatu yang tidak wajib seperti sedekah sunnah. Termasuk ihsan adalah perbuatan yang karena itu seorang hamba diberi pahala, berupa apa-apa yang tidak diwajibkan oleh Allah dalam ibadah maupun selain ibadah. Karena itu, menurut Burhanuddin al-Biqai dalam tafsirnya Nazhm ad-Durar, ihsan adalah perbuatan ketaatan menurut profil yang paling tinggi.

Jadi hadis ini adalah perintah Allah agar kita melakukan ketaatan dalam segala hal sesempurna mungkin, baik dari sisi kuantitas maupun tatacara, bukan hanya mencukupkan pada yang wajib saja.

Kemudian Rasul saw. memberikan contoh ihsan itu dalam perbuatan yang terlihat kejam, yaitu membunuh dan menyembelih: “fa ahsinû al-qitlata dan fa ahsinû ad-dzabha-dalam riwayat lain adz-dzibhata-“. Kata al-qitlata dan adz-dzibhata bermakna hay’ah al-qatl wa adz-dzabh-bentuk dan tatacara membunuh dan menyembelih. Jadi yang diperintahkan di sini adalah ihsan dalam hal bentuk dan tatacara membunuh atau menyembelih, yaitu memilih cara-dalam batas ketentuan syariah-yang paling mudah, paling cepat dan paling kecil penderitaannya; tanpa menyiksa, menyayat apalagi mencincang sebelum membunuhnya. Membunuh di sini bersifat umum mencakup qishash, hadd (misalnyahadd murtad), maupun membunuh hewan, misalnya membunuh ular atau binatang buas yang menyerang.

Rasul saw. pun lebih mendetilkan ihsan itu dalam hal menyembelih. Beliau menyuruh untuk menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelih. Dengan demikian, ihsan dalam menyembelih itu adalah menyembelih menggunakan pisau setajam mungkin lalu menggerakkan pisau dengan kuat sehingga secepatnya memutus kerongkongan (jalan makanan), tenggorokan (jalan nafas/udara) dan dua urat di sekitar keduanya. Adapun menyenangkan hewan yang disembelih itu dijelaskan dalam beberapa riwayat: memberi minum sebelum disembelih, tidak menyembelih di hadapan hewan lain, tidak menajamkan pisau di depan hewan yang akan disembelih, tidak membantingnya, tidak menginjaknya, tidak memukulnya, dsb; juga membiarkan hewan itu mati sempurna (diam) sebelum dikuliti, disayat dan dipotong-potong.

Dengan demikian, hadis ini memerintahkan kita melakukan ketaatan dengan kadar, ukuran, jumlah dan tatacara dari sisi fisik, emosi maupun ekspresi dalam bentuk yang paling baik dan sempurna. Allâhumma ij’alnâ min al-muhsinîn

.....................................

Syariat Islam Menghilangkan Money Politic

Praktik politik uang (money politic) berkembang dan marak dalam sistem politik oportunistis. Sistem politik yang jauh dari pondasi agama, alias sekuler. Sistem politik yang lahir dari cara pandang benefit (asas manfaat), di mana untung dan rugi merupakan satu-satunya standar dalam berpolitik. Untuk meraih benefit (keuntungan), segala cara pun dihalalkan, asal tujuan tercapai.

Dalam landscape politik seperti itu, para politikus tidak pernah berpikir bagaimana mengurus urusan umat. Karena itu, mereka tidak pernah hadir di tengah-tengah umat, ketika mereka dibutuhkan. Mereka pun jauh dari umat. Mereka baru mendekat, atau tepatnya mendekati umat, ketika mereka membutuhkan umat untuk kepentingan politik mereka. Karenanya, aceptabilitas (penerimaan) mereka di tengah-tengah umat pun rendah. Demikian juga elektabilitas (keterpilihan) mereka.

Namun, alih-alih mereka memerhatikan dan mengurus kepentingan umat dengan tulus, yang dengan begitu aceptabilitas dan elektabilitas mereka bisa naik, justru mereka lebih memilih jalan pintas. Pada saat seperti itu, mereka pun menyogok umat dan siapapun yang bisa disogok dengan uang najis para politikus oportunistis itu. Umat yang hidup dalam kultur politik yang korup dan kesulitan ekonomi pun tidak jarang yang akhirnya ikut menikmati uang najis itu. Karenanya, terjadilah patgulipat, alias simbiosis mutualisme.

Landscape dan kultur politik seperti inilah yang berkembang dalam sistem politik kapitalis. Selama pondasi, standar dan cara pandang politiknya masih dibangun berdasarkan sekularisme dan asas manfaat, selama itu pula landscape dan kultur politik seperti ini akan terus hidup dan tumbuh subur. Untuk menghentikan praktik politik seperti ini, yang dibutuhkan bukan hanya sekadar reformasi, tetapi perubahan mendasar. Akidah sekuralisme, yang menjadi pondasi politik oportunistis harus dibuang, diganti dengan Islam. Demikian pula, standar dan cara pandang benefit, harus dibuang jauh-jauh, diganti dengan halal-haram. Praktik menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan juga harus dihilangkan, diganti dengan keterikatan pada hukum syariah. Inilah perubahan mendasar yang dibutuhkan dan harus dilakukan.

Pertanyaannya kemudian, apa jaminannya jika Islam diterapkan, landscape dan kultur politik yang korup, termasuk politik uang (money politic) bisa dihilangkan? Jawabannya, pertama, jaminan itu ada pada akidah Islam yang menjadi pondasi kehidupan, termasuk sistem politik. Akidah Islam menjadikan setiap pemeluknya mempunyai ketakwaan kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga muncul self control (control pribadi) di dalam diri mereka. Dengan ketakwaan yang sama, masyarakat juga memilikisocial control, sehingga kewajiban amar makruf dan nahi munkar bisa berjalan dengan baik dan efektif di tengah-tengah masyarakat. Dengan akidah Islam pula, tidak ada satu pun hukum yang dijalankan oleh negara, kecuali hukum Islam. Negara pun tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum terhadap seluruh rakyat. Karena itu, dengan ketiga faktor ini, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan negara yang konsisten menegakkan hukum Islam, maka satu-satunya kultur yang tumbuh dan berkembang adalah kultur yang baik dan sehat.
Ketika Abu Hurairah diutus oleh Nabi SAW selaku kepala negara untuk mengambil jizyahdan kharaj dari warga Yahudi, mereka pun berusaha menyuap utusan Nabi tersebut dengan mengumpulkan perhiasan istri-istri dan anak-anak mereka. Mereka mengatakan, “Kami telah mengumpulkan perhiasan ini dari istri-istri dan anak-anak perempuan kami untuk Anda, agar Anda bisa mengurangi jumlah pungutan yang Anda ambil dari kami.” Dengan tegas, Abu Hurairah pun menolak, seraya berkata, “Celakah kalian wahai bangsa Yahudi. Karena tindakan kalian, Allah telah melaknat kalian melalui lisan Nabi Dawud.” Ketika mendengar jawaban Abu Hurairah itu, mereka menyatakan, “Andai saja para pejabat negara seperti Anda, niscaya langit dan bumi ini akan tetap tegak selamanya.” Abu Hurairah bisa seperti itu karena ketakwaan pribadinya, sehingga self control-nya begitu kuat, dan tidak mempan disuap.

Ketika Khalifah Mu’awiyah melaknat Imam ‘Ali di mimbar-mimbar masjid, Asma’ binti Abu Bakar, mendatanginya dan menasihatinya agar tidak melakukan tindakan tidak etis itu. Bukan hanya Asma’, jamaah pun meninggalkannya agar tidak mendengarkannya melaknat ‘Ali (al-Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, 155). Ketika Khalifah Ja’far bin al-Manshur berangkat haji dari Baghdad ke tanah suci dengan menyertakan rombongan, maka seorang ulama berdiri menasihatinya seraya mempertanyakan dana yang digunakan sang khalifah untuk memberangkatkan mereka. Ulama itu adalah Sufyan as-Tsauri (Ibn Qutaibah ad-Dainuri, al-Imamah wa as-Siyasah, Juz II/172). Seorang raja ulama sekelas Izzuddin bin Abdussalam, ketika melihat kesalahan penguasa dalam kebijakan politik mereka, tidak segan-segan untuk membeberkan dan mengoreksi kesalahan tersebut di mimbar-mimbar khutbah. Ketika ditanya oleh muridnya, apakah ia tidak khawatir dengan tindakannya? Dengan tegas ia menyatakan, “Ketika Allah telah aku hadirkan dalam diriku, maka penguasa itu di mataku, ibarat seekor kucing.” (Fauzi Sinnuqarth, Taqarrub Ila-Llah, hal. 161) Sekali lagi, ketakwaanlah yang membentuk social control dalam diri Asma’, Sufyan as-Tsauri dan Izzuddin Abdussalam.

Ini hanya sekelumit contoh, bahwa Islam merupakan jaminan tumbuh dan berkembangnya landscape dan kultur politik yang bersih di tengah-tengah masyarakat. Selain ketiga faktor di atas, Islam juga mempunyai mekanisme yang jelas sehingga praktik-praktik politik yang kotor dan korup itu bisa dibersihkan.

Islam, misalnya, dengan tegas mengharamkan praktik suap, penyuap (ar-rasyi), penerima suap (al-murtasyi) dan perantara/broker (ar-ra’is bainahuma). Bukan hanya suap yang diharamkan, tetapi hadiah yang diberikan kepada penguasa juga diharamkan. Selain mengharamkan praktik suap dan hadiah, Islam juga menutup celah tumbuh dan berkembangnya praktik kotor seperti ini. Karena umumnya praktik suap dan hadiah ini terkait dengan kepentingan (kemaslahatan) penyuap yang hendak dipenuhi, sementara aspek ini terkait dengan urusan administrasi dan birokrasi, maka Islam pun membangun administrasi dan birokrasinya dengan tiga prinsip dasar: (1) birokasi yang sederhana (basathah fi an-nidzam); (2) cepat proses dan penyelesaiannya (sur’ah fi injaz); (3) ditangani oleh orang cakap dan bertakwa (‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 211-213).

Selain ketiga ciri di atas, birokrasi dan administrasi negara juga tidak bersifat sentralistik, tetapi desentralistik. Di tiap kota kecil atau besar ada biro administrasi, yang memungkinkan penduduk setempat untuk menyelesaikan urusan administrasi cukup di tempatnya, tidak perlu harus merujuk ke pusat. Manajemennya pun berkembang mengikuti perkembangan sarana dan prasarana, atau teknologi mutakhir. Tidak hanya itu, biro-biro ini juga dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah dan cakap (Muhammad Husain ‘Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islam, hal. 86).

Dengan sistem seperti itu, celah dan peluang terjadinya praktik suap dan korupsi bisa ditutup rapat-rapat. Jika seluruh celah dan peluang tersebut tidak ditutup, tetapi masih nekat melakukan korupsi, maka hukum akan ditegakkan dengan tegas, tanpa pandang bulu. Islam pun menetapkan ta’zir, sebagai bentuk sanksi yang diberlakukan kepada mereka, di mana kadar dan beratnya akan ditetapkan oleh hakim.

Dengan semuanya itu, maka masyarakat pun bersih dari landscape dan kultur politik yang korup dan kotor, yang bukan saja membahayakan pelakunya, tetapi juga sendi-sendiri kehidupan masyarakat, bisa dibersihkan sebersih-bersihnya. Namun, semuanya itu hanya bisa diwujudkan dalam sebuah negara yang bernama Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Itulah negara yang diidam-idamkan oleh setiap orang Mukmin.Wallahu a’lam.

Pengetahuan Islam ::.

Menggugat Jalan Demokrasi !

Pergolakan Di Timur Tengah Menunjukkan Kegagalan Jalan Demokrasi Untuk Melakukan Perubahan yang Substansial

Klaim sebagian pihak yang menyatakan pergolakan di Timur Tengah merupakan kemenangan demokrasi, sangat patut dipertanyakan. Yang terjadi sebenarnya adalah hal yang natural. Pemerintah diktator yang bertindak represif dan gagal menyejahterakan rakyatnya, sekuat apa pun akan tumbang. Dalam kondisi seperti ini, yang penting bagi rakyat adalah turunnya penguasa diktator. Artinya, bisa jadi rakyat tidak begitu peduli apakah itu demokrasi atau tidak!

Sebaliknya, perubahan yang terjadi di Timur Tengah saat ini justru dilakukan bukan dengan jalan demokrasi, tapi gerakan rakyat di luar parlemen (ekstra parlemen). Selama ini, ada semacam racun pemikiran yang terus ditebarkan di tengah umat Islam, kalau ingin merubah harus masuk parlemen , harus bergabung dalam ritual demokrasi. Gejolak Timur Tengah secara nyata membantah pandangan ini.

Disamping tidak efektif untuk membuat perubahan yang substansial , ritual demokrasi ini mengandung banyak persoalan. Yang mendasar adalah adalah bahaya ideologis. Demokrasi dengan pilar utamanya kedaulatan rakyat (as siyadah lil sya’bi) , telah menjadikan sumber hukum adalah akal dan hawa nafsu manusia atas nama rakyat.

Hal ini sangat-sangat bertentangan dengan prinsip utama aqidah Islam berupa kedaulatan di tangan Allah SWT (as-siyadah lil syar’i). Karenanya, yang menentukan yang hak dan yang batil adalah syariat Islam yang sumber hukum utama Al Qur’an dan as Sunnah. Islam dengan tegas menyatakan hak membuat hukum ada di tangan Allah SWT :inil hukmu illa lillah(QS Yusuf : 40). Dalam tafsir al Baghawi dijelaskan al hukmu itu berupa peradilan, syariat , hukum (al qodhou), perintah (al amru) dan larangan (an nahyu).

Tidak berhukum pada hukum Allah SWT dengan tegas dinyatakan sebagai bentuk kekufuran. Firman Allah SWT : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS Al Maidah : 44).

Tidak mengherankan kalau partai-partai yang mengklaim Islam, saat bergabung dengan ritual sekuler ini mengalami distorsi ideologis. Bahkan cendrung menjadi pragmatis, karena hanya berpikir bagaimana meraih suara terbanyak dengan berbagai cara. Alih-alih merubah, kehadiran mereka justru menjadi legitimasi sistem kufur yang memperpanjang usia sistem yang rusak ini.

Demokrasi juga menjadi alat untuk memperkuat intervensi asing lewat tokoh dan parpol yang didukung Barat, menimbulkan suasana konflik masyarakat, internal parpol, antar parpol. Pemerintah dan elit politik yang terpilih juga tidak pernah fokus mengurus rakyat karena sibuk mengurus ‘perpanjangan kekuasaan.

Biaya politik yang besar juga telah menyedot uang rakyat, yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan mereka. Biaya demokrasi yang mahal itu menjadi pintu bagi politik transaksional yang menumbuh suburkan money politic, praktik kolusi, korupsi.

Sayangnya perubahan ekstra parlemen ini baru sebatas keinginan pergantian rezim. Tanpa visi perubahan bisa dibajak oleh berbagai kepentingan. Seperti kepentingan rezim lama yang berganti wajah menjadi pendukung rakyat dan terkesan reformis.

Termasuk rawan dibajak kepentingan asing. Perubahan terjebak pada menjadi alat revitalisasi dominasi negara besar dengan mengangkat rezim baru yang tetap dalam kontrol mereka. Amerika yang selama 30 tahun mendukung rezim Mubarak yang diktator, berubah arah seakan-akan menjadi pembela rakyat Mesir, untuk tetap mempertahankan kepentingannya.

Namun, gerakan people power - apalagi tanpa dukungan ahlul quwwah (kelompok militer)- bisa berujung berujung pada pertumpahan darah , kekacauan, perusakan hak milik umum, konflik horizontal hingga pembantaian sesama umat Islam. Kecendrungan ini terjadi di Libya. Dan jika rakyat tidak berhasil menumbangkan rezim, maka akan membuat penguasa tambah bengis dan paranoid

Karena itu seharusnya kita belajar dari perubahan yang dilakukan oleh Rosulullah SAW. Dengan dasar keimanan Rosulullah memiliki visi yang jelas, yaitu bagaimana agar Islam bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu Rosulullah SAW melakukan dua hal penting berupa penyadaran masyarakat tentang Islam dan mencari dukungan (an nushroh) dari ahlul quwwah berupa pemimpin -pemimpin kabilah. Rosulullah SAW mengajak mereka masuk Islam dan meminta mereka memberikan dukungan kepada kekuasaan Islam.

Lewat upaya yang sungguhnya-sungguh akhirnya, masyarakat Madinah sadar, siap dan rela diatur oleh Islam. Sementara ahlul Quwwah (para pemimpin qabilah dari Aus dan Khazraj) dengan ikhlas dan tanpa syarat menyerahkan kekuasaan kepada Rosulullah SAW dengan mengangkatnya menjadi kepala negara. Inilah yang menjadi kunci kenapa perubahan yang dilakukan Rosulullah SAW meskipun bersifat inqilabiyah (mendasar dan menyeluruh), namun nyaris tanpa pertumpahan darah. Inilah yang harus kita tiru

.:: Artikel ::.

Islam Tidak Akan Tegak Tanpa Khilafah

Wahai kaum Muslim: Kita harus menjadikan tegaknya Khilafah sebagai persoalan utama (qadhiyah mashîriyah) kita. Di mana demi tegaknya Khilafah kita korbankan jiwa dan harta benda kita yang paling berharga sekalipun; kita akan menebusnya dengan darah dan nyawa; dan kita tidak akan pernah mengabaikan apalagi melupakannya meski hanya sedetik saja, selama kita masih hidup. Kita melakukan semua ini, sebagai bentuk ketaatan kita pada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bersabda: “Wahai paman. Demi Allah. Sekiranya mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku meninggalkan urusan (agama) ini, niscaya aku tidak akan pernah meninggalkannya sampai Allah memenangkannya, atau aku binasa dalam mendakwahkannya.

Islam tidak akan tegak kecuali dengan Khilafah; dan juga Islam tidak akan pernah memimpin dunia kecuali dengan Khilafah.

Sehingga, demi membangun benteng yang kokoh, istana yang megah dan tiang-tiang penyanggah yang kuat, maka kami menyeru kalian, wahai orang-orang beriman.

Ingat! Hanya dengan tegaknya Khilafah, kita raih kemuliaan dan kebesaran, kedudukan dan kekuasaan; dan hanya dengan Khilafah, Tuhan kalian akan menolong dan memenangkan kalian. Kemudian, seluruh penduduk bumi akan mencintai kalian, dan para malaikat di langit akan ber-istighfâr (memintakan ampun) untuk kalian. Dengan demikian, kalian akan menjadi orang-orang yang sukses meraih kebahagiaan fi ad-dârain(dunia dan akhirat).

Ketahuilah, wahai hamba Allah. Semoga Allah merahmati kita semua: Sungguh ini merupakan perkara yang amat sangat serius, dan musibah yang besar. Sehingga dibutuhkan amal (usaha) dengan tenaga yang luar biasa, namun sangat besar pahalanya; sulit pelaksanaannya, namun sangat besar ganjarannya; serta membutuhkan pemahaman yang cermat, mahar yang mahal, kesabaran yang tak penah berakhir, dan strategi yang jenius. Apakah kalian di antara orang yang bersiap sedia berjuang menegakkannya?!

Khilafah adalah setetes air di atas tanah kering dan gersang, kemudian menghidupkannya hingga menjadi hamparan tanah hijau, yang menyenangkan bagi siapa saja yang melihatnya.

Khilafah merupakan obat mujarab untuk berbagai penyakit yang diderita kaum Muslim. Bahkan tidak hanya untuk kaum Muslim saja, namun untuk semua orang yang ada di bumi ini.

Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam.” (TQS. Al-Anbiyâ’ [21] : 107).

-----------------------------------------

Apa Itu Khilafah?

  • Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih.
  • Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah sistem politik yang khas.
  • Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja atau diktator, melainkan seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai’at.Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator, yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat ini, yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat.
  • Kontrak bai’at mengharuskan Khalifah untuk bertindak adil dan memerintah rakyatnya berdasarkan syariat Islam. Dia tidak memiliki kedaulatan dan tidak dapat melegislasi hukum dari pendapatnya sendiri yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Setiap undang-undang yang hendak dia tetapkan haruslah berasal dari sumber hukum Islam, yang digali dengan metodologi yang terperinci, yaitu ijtihad. Apabila Khalifah menetapkan aturan yang bertentangan dengan sumber hukum Islam, atau melakukan tindakan opresif terhadap rakyatnya, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa dalam sistem Negara Khilafah, yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment kepada Khalifah dan menggantinya.
  • Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena Khalifah bukanlah pendeta. Jabatan yang diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam pemerintahan Islam. Dia tidak sempurna dan tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu sebabnya dalam sistem Islam banyak sarana check and balance untuk memastikan agar Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap akuntabel.
  • Khalifah tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh kekuasaannya melalui akad bai’at.Sistem Khilafah bukanlah sistem teokrasi. Konstitusinya tidak terbatas pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan luar negeri dan peradilan. Kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup masyarakat adalah tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh Khilafah. Ini sangat berbeda dengan sistem teokrasi kuno di zaman pertengahan Eropa dimana kaum miskin dipaksa bekerja dan hidup dalam kondisi memprihatinkan dengan imbalan berupa janji-janji surgawi. Secara histories, Khilafah terbukti sebagai negara yang kaya raya, sejahtera, dengan perekonomian yang makmur, standar hidup yang tinggi, dan menjadi pemimpin dunia dalam bidang industri serta riset ilmiah selama berabad-abad.
  • Khilafah bukanlah kerajaan yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayah lain. Nasionalisme dan rasisme tidak memiliki tempat dalam Islam, dan hal itu diharamkan. Seorang Khalifah bisa berasal dari kalangan mana saja, ras apapun, warna kulit apapun, dan dari mazhab manapun, yang penting dia adalah Muslim.Khilafah memang memiliki karakter ekspansionis, tapi Khilafah tidak melakukan penaklukkan wilayah baru untuk tujuan menjarah kekayaan dan sumber daya alam wilayah lain. Khilafah memperluas kekuasaannya sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya, yaitu menyebarkan risalah Islam.
  • Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem Republik yang kini secara luas dipraktekkan di Dunia Islam. Sistem Republik didasarkan pada demokrasi, dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat. Ini berarti, rakyat memiliki hak untuk membuat hukum dan konstitusi. Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat. Tidak ada satu orang pun dalam sistem Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh melegislasi hukum yang bersumber dari pikirannya sendiri.
  • Khilafah bukanlah negara totaliter. Khilafah tidak boleh memata-matai rakyatnya sendiri, baik itu yang Muslim maupun yang non Muslim. Setiap orang dalam Negara Khilafah berhak menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan negara tanpa harus merasa takut akan ditahan atau dipenjara. Penahanan dan penyiksaan tanpa melalui proses peradilan adalah hal yang terlarang.
  • Khilafah tidak boleh menindas kaum minoritas. Orang-orang non Muslim dilindungi oleh negara dan tidak dipaksa meninggalkan keyakinannya untuk kemudian memeluk agama Islam. Rumah, nyawa, dan harta mereka, tetap mendapat perlindungan dari negara dan tidak seorangpun boleh melanggar aturan ini. Imam Qarafi, seorang ulama salaf merangkum tanggung jawab Khalifah terhadap kaum dzimmi:“Adalah kewajiban seluruh kaum Muslim terhadap orang-orang dzimmi untuk melindungi mereka yang lemah, memenuhi kebutuhan mereka yang miskin, memberi makan yang lapar, memberikan pakaian, menegur mereka dengan santun, dan bahkan menoleransi kesalahan mereka bahkan jika itu berasal dari tetangganya, walaupun tangan kaum Muslim sebetulnya berada di atas (karena faktanya itu adalah Negara Islam). Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusannya dan melindungi mereka dari ancaman siapa saja yang berupaya menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta kekayaannya, atau melanggar hak-haknya.”
  • Dalam sistem Khilafah, wanita tidak berada pada posisi inferior atau menjadi warga kelas dua. Islam memberikan hak bagi wanita untuk memiliki kekayaan, hak pernikahan dan perceraian, sekaligus memegang jabatan di masyarakat. Islam menetapkan aturan berpakaian yang khas bagi wanita – yaitu khimar dan jilbab, dalam rangka membentuk masyarakat yang produktif serta bebas dari pola hubungan yang negatif dan merusak, seperti yang terjadi di Barat.
  • Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.
  • Khilafah yang akan datang akan melahirkan era baru yang penuh kedamaian, stabilitas dan kemakmuran bagi Dunia Islam,mengakhiri tahun-tahun penindasan oleh para tiran paling kejam yang pernah ada dalam sejarah. Masa-masa kolonialisme dan eksploitasi Dunia Islam pada akhirnya akan berakhir, dan Khilafah akan menggunakan seluruh sumber daya untuk melindungi kepentingan Islam dan kaum Muslim, sekaligus menjadi alternatif pilihan rakyat terhadap sistem Kapitalisme.



.:: Ustadz Menjawab ::.

Wajib di-klik ::.



.:: Asmaul Husna ::.





Koleksiku

Koleksiku

Salma & Akbar

Salma & Akbar



Salma Ghoziyah A.

Salma Ghoziyah A.

About

Akbar Muhammad A.

Akbar Muhammad A.

Search box

About Author

Footer